Sunday, February 28, 2010

ini saya langsung copy-paste message dari kakak saya yang pernah tinggal dan belajar di Belanda.

Halo, dek Agung...
aku sedikit jelasin program pendidikannya mbak Lastri dulu ya, sehingga dek Agung punya gambaran juga mengapa mbak Lastri gak terlalu banyak tahu banyak hal tentang pendidikan di sana, atau kalau tahu ya, hanya sedikit sekali mungkin...

Andai tugas ini gak terlalu mendesak dirimu bisa kurujuk untuk ngobrol dengan teman kostku yang sekarang masih di sana dan ambil program S2, minimal karena dia justru tinggal terus di Belanda, perkiraan mbak Lastri justru dia lebih banyak tahu daripada mbak Lastri.

Okey, untuk sementara aku jelasin dulu programnya mbak Lastri.
Mbak Lastri sekarang ambil program S3 (doktoral) di bidang psikologi, dengan model sandwich-program dan by-research. Artinya tidak seperti pendidikan pada level S1 dan S2 yang masih harus banyak belajar materi-materi kuliah di kelas-kelas, kalau level Doktor (S3/PhD) yang mbak Lastri ambil sama sekali sudah tidak ada materi-materi di kelas, tetapi dengan melakukan penelitian-penelitian (by-research) dan dilakukan di negara sendiri sehingga pengambilan data di Indonesia dan balik ke Belanda untuk supervisi aja setahun sekali tinggal disana antara 2-3 bulan (sandwich, selang-seling, kira-kira begitu). Nah, jadi waktu pendidikan mbak Lastri lebih banyak mengolah materi-materi sendiri (tidak di kelas) dengan melakukan penelitian (di Indonesia) dan tinggal di sana hanyak sebentar. Untuk level doktor (karena juga tidak di kelas), kami diberi ruang sendiri-sendiri untuk bekerja dan belajar...jadi sama sekali gak nyampur dengan mahasiswa lain..

Nah, itu sebabnya mbak Lastri bilang di awal bahwa mbak Lastri hanya tahu sedikit aja tentang program pendidikan di sana, apalagi kalau tugasnya dek Agung untuk studi perbandingan model pendidikan (S1 dan S2) yang di Belanda.... Tapi, sejauh yang mbak Lastri tahu, kayaknya sih sama aja ya antara Indonesia dan Belanda.. mereka sistem pelajaran (kuliah) di kelas, dengan sistem kredit untuk mata kuliah yang ditawarkan, ada tugas-tugas untuk masing-masing kuliah, ada tugas presentasi juga, ada mid-test dan test akhir.. ada tugas lapangan, ada skripsi untuk S1 dan tesis untuk S2 en so on.. Relatif hampir sama kan?

Yang mbak Lastri lihat agak spesial, khususnya di Radboud University, Nijmegen, the Netherlands, tempat mbak Lastri belajar tsb dan agak membedakan dari yang ada di Indonesia (minimal di Univ Soegijapranata, gak tahu kalo Univ-nya dek Agung) adalah untuk mahasiswa S1 saat mereka mengerjakan tugas akhir (Skripsi), masing-masing mahasiswa mendapat tempat ruangan khusus untuk pengerjaan skripsi (meskipun bukan satu mahasiswa satu ruangan) tapi itu adalah satu ruangan besar, dengan komputer-komputer sendiri-sendiri untuk masing-masing mahasiswa dan mereka mengerjakan skripsi mereka setiap hari di ruangan tersebut..

Kalau sistem di Indonesia, saat skripsi kan kita ngerjainnya sesuka kita mau dimana aja kan? Nah, kalau mereka enggak. Jadi relatif dapat dikontrol progress dari skripsi mereka, asyik ya... Begitu juga dengan yang sedang S2 juga begitu. Tapi kalau yang S2, diberi ruangan di lantai lain dan satu ruangan hanya berisi 2 mahasiswa S2 yang lagi ngerjain thesis, dan mereka wajib "ngantor" tiap hari untuk ngerjain thesis mereka (sama seperti yang S1).

Tentang pertanyaan kedua: "budaya", aduh... sori mbak Lastri gak bisa terlalu banyak cerita nich... gak terlalu tahu juga sih ya.. "Budaya" kan perspektifnya juga sangat luas, dek? Coba kalau dibalik pertanyaannya "budaya Indonesia".. banyak sekali kan? dan kita mau mulai darimana jelasinnya kalau diberi pertanyaan seperti itu oleh mahasiswa asing? Nah, mbak Lastri sendiri juga agak repot untuk jawab pertanyaan dek Agung tentang "Budaya Belanda" yang kayak apa? Budaya lisan, tertulis? Budaya tradisional, modern? Nyanyi, tarian, bahasa? Buanyaakk banget perspektifnya.. dipersempit dulu kali ya pertanyaannya.

Untuk pertanyaan ketiga : karir. Sejauh yang mbak Lastri tahu, yang relatif membedakan hanya sekedar mereka negara kecil, tapi kaya, maju dan modern. Sehingga penghargaan mereka terhadap profesi apa pun di sana relatif baik, dan sistem penggajian-pun relatif memadai, sehingga tidak terlalu mencolok jurang antara si kaya dan si miskin... Relatif setiap orang tertolong untuk hidup dengan layak. Di kota besar mungkin masih ada sih, gelandangan atau pengemis, tapi itu bisa dihitung jari dan pada dasarnya bagi mereka yang tidak punya pekerjaan ada tunjangan sosial dari pemerintah, tapi orang Belanda (atau Eropa) pada umumnya merasa itu sesuatu yang sangat memalukan.. Beda ya dengan di sini?

So, bicara soal karir, untuk di Belanda, semakin baik dan semakin tinggi pendidikan yang ditempuh maka akan terbuka peluang untuk mendapat pekerjaan yang baik dan gaji yang baik..Semakin banyak pengalaman dan keterampilan juga membuka peluang semakin banyak pekerjaan bisa didapat... intinya begitu..
Sumber: Arimbi Laraswati – Green River College, Auburn- Seattle, U.S.A
Saya memiliki seorang teman yang sedang menamatkan pendidikan di Green River College, Seattle-U.S.A. Kami sering berkomunikasi lewat internet dan sering bertukar cerita. Sejauh saya mendengarkan cerita-cerita teman saya tersebut, ada beberapa hal yang menurut saya bisa saya tuliskan pada blog ini.
Dalam segi pendidikan, sekolah di Amerika cukup liberal. Pelajar bebas menentukan subject yang diinginkan dan harus memiliki degree plan, jadi pelajar mengetahui kelas yang diambil dan kapan pelajar tersebut lulus.
Mengenai result, bila 2 kali GPA pelajar failed, pelajar tersebut drop out dari college/ university. Cukup strict memang, berbeda dengan Indonesia yang bisa mengulang hingga 7 tahun. Bila pelajar merasa tidak mampu belajar di faculty yang dipilih, pelajar dapat pindah jurusan dengan tidak mengulang dari awal karena ada kelas yang memang bisa diambil untuk semua jurusan.
Selain itu, dari tingkat SD hingga SMA, citizens dapat bersekolah gratis.
Dalam segi kehidupan, culture Amerika lebih santai juga bebas. Umur 18 dianggap sudah dewasa. Orang tua boleh melepas anaknya untuk tinggal sendiri dan rata-rata anak tersebut harus bekerja. Bebasnya, bagi mereka yang berumur dibawah 21 tahun, tidak membutuhkan orang tua untuk melakukan aborsi. Namun, mereka butuh orang tua untuk tindik.
Salah satu yang cukup menarik adalah pemberian uang tip bagi pelayan restoran, setiap cent pun berharga.
Selain itu, pada saat bekerja, mereka benar-benar bekerja. Tetapi jika libur seperti weekend, mereka benar-benar libur.

Monday, February 22, 2010

Budaya Negara Lain

Berikut langsung saya copy dari message teman saya yang kuliah di jerman.

Mmmm...karakter orang2 Jerman pada umumnya terbagi dua. Ada golongan muda dan golongan tua. Dan diantara dua golongan ini sering terjadi salah paham dan GAP yg sangat besar. Para manula di jerman dibiayai oleh pemerintah dalam urusan asuransi dan uang hidup bulanan, sehingga mereka mengatakan bahwa kaum muda pemalas dan tidak mau kerja.Hal ini mungkin dilatarbelakangi oleh masa lalu mereka yg ditindas dan hidup dalam diktator militer Hitler. Ini dapat dilihat dari sikap mereka terhadap warga asing (Gue dan teman2 gue dr berbagai negara lainnya) di pusat2 keramaian maupun tempat lain. Sedangkan golongan muda mengatakan bahwa kaum tua tidak mengerti aspirasi mereka,dan selalu mengatur hingga ke cara berpakain,pemakaian tata bahasa (hoch deutsch atau umgangsprache), hingga cara berinteraksi dgn warga negara lain. Tetapi di lain pihak, hal ini menguntungkan bagi kaumpendatang di Jerman, karena mereka akan lebih mudah menjalin persahabatn dgn warga negara yg umurnya relatif lebih muda.

Kedisiplinan dan tepat waktu adalah dua hal utama yg gue bisa liat disini. Waktu kereta detail hingga ke hitungan menit,dan selaluu berangkat di saat yg tercetak di ticket,tanpa memedulikan penumpang yg terlambat naik. Untuk menyeberang jalan,harus melihat lampu penyebrangan,sekalipun jalanan kosong melompong,kalau tidak akan di denda. Dan global warming merupakan masalah utama disini. Berbelanja dimana pun juga tidak akan diberi kantong plastik atau kertas, jadi harus membawa tas masing-masing,sampah pun demikian, harus dipisah ke 3 bagian,kalau tidak akan ditegur. Mengenai agama,umumnya mereka atheis dan tidak mempercayai akan adanya Tuhan Yesus (even thou theyi parents are Christian or Catholic) Mereka percaya akan adanya "Gott" tetapi tidak mengenal "Dia" secara pribadi, dan mereka dgn bangga mengatakan bahwa agama mereka Atheis.


Mayangsari Latumahina
08130110059

Saturday, February 20, 2010

Chief Executive Officer Idaman



Ramah, rendah hati, dan terbuka. Itulah sosok Hasnul Suhaimi, sang pemimpin XL. Keterlibatannya di dunia telekomunikasi Indonesia pun menjadi pilihan hidup Hasnul. Walau mengaku tidak ada sesuatu yang dikejar dalam hidupnya, tapi Hasnul ingin melihat XL maju. Bagi Hasnul, tantangan yang dihadapinya adalah kompetisi dan bagaimana memberikan pelayanan terbaik kepada pelanggan.

September 2006 menjadi hari yang istimewa bagi Hasnul Suhaimi. Secara resmi, dirinya diangkat menjadi Presiden Direktur PT Excelcomindo Pratama Tbk. atau XL yang baru. “Saya berkomitmen untuk memimpin XL menuju visinya menjadi penyedia jasa teknologi informasi dan komunikasi terpilih di seluruh Indonesia, baik bagi pelanggan individu maupun kalangan bisnis,” ungkap Hasnul – panggilan akrab Hasnul Suhaimi – kala itu.
Kini, setelah sepuluh bulan memimpin XL, Hasnul tetap memegang komitmen tersebut. Karena baginya jabatan merupakan amanah yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab.
Mendarat di Dunia Telekomunikasi
Pria kelahiran Bukittinggi, 23 April 1957 ini bukan pemain baru di dunia telekomunikasi Indonesia. Namun karir Hasnul sendiri diawali dari sebuah perusahaan perminyakan dan gas sebagai instrument engineer. Tapi itu tidak berlangsung lama.
Lalu mengapa akhirnya Hasnul terjun ke dunia telekomunikasi? ”Saya bukan terjun, tapi memang mendaratnya di situ, hahaha,” jawab Hasnul. Kepada TEKNOPRENEUR, bapak dua orang putra ini pun mengenang kembali masa ketika dirinya memutuskan untuk menggeluti dunia telekomunikasi.
Saat itu (tahun 1981-1982.red) Hasnul bekerja di perusahaan Schlumberger. Dunia telekomunikasi Indonesia sendiri belum berkembang seperti sekarang. Operator komunikasi yang muncul pun masih sedikit. Namun Hasnul justru melihat peluang besar di dunia telekomunikasi Indonesia.
Tahun 1983 akhirnya Hasnul memutuskan pindah ke PT Indosat. Ia mengawali karirnya sebagai staf perencanaan. Setelah itu, perjalanan karir lulusan MBA dari Universitas Hawaii, Manoa, Amerika Serikat ini semakin meningkat. Jabatan puncak yang diraihnya yaitu menjadi Direktur Utama PT Indosat pada tahun 2005 hingga 2006.
”Bagi saya, setiap pekerjaan ada tantangannya. Kalau saya melihat, semakin banyak pemain di telekomunikasi, semakin menantang dan menarik,” ujar Hasnul.
Setelah sekian lama tergabung di PT Indosat, Hasnul membuat kejutan dengan kepindahannya ke XL. Sekarang, Hasnul berada di perahu lain namun masih dalam samudera yang sama. Ia mengakui kalau dirinya menikmati berkecimpung di dunia telekomunikasi, dengan segala suka duka dan tantangan yang dihadapinya. Ia pun melihat tantangan yang berbeda di XL.
”Bagi saya, setiap pekerjaan ada tantangannya. Kalau saya melihat, semakin banyak pemain di telekomunikasi, semakin menantang dan menarik,” ujar Hasnul. ”Seperti golf saja. Untuk memasukkan ke hole, bagaimana agar bola tidak masuk ke pasir atau air. Seperti itu tantangannya. Semakin lama, dunia ini semakin menarik,” lanjut pria yang pernah menjabat sebagai Direktur Pengembangan Program Indonesia Marketing Association tersebut.
Peluang dan Tantangan
Semakin banyaknya operator di Indonesia dipandang Hasnul sebagai peluang sekaligus tantangan. Peluangnya, bertambahnya jumlah operator menunjukkan bertambah pula pasar pengguna alat komunikasi di Indonesia. Pertumbuhan pasar pun menyimpan banyak peluang baik bagi operator ataupun pengusaha content provider.
Tantangannya adalah bagaimana kemudian XL dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggannya di tengah-tengah kompetisi dunia telekomunikasi Indonesia. Untuk menghadapi tantangan tersebut, Hasnul mencoba memberikan gambaran menarik mengenai langkah apa yang bisa dilakukan XL selanjutnya.
”Kalau saya lihat, ke depannya bisnis ini semakin kompetitif. Semakin banyak pemain, semakin sempit lahan bermainnya. Sekarang sudah 30% masyarakat kita yang menggunakan handphone. Mungkin ada peluang ke depan, tapi pasti akan mengalami masa jenuh. Saya pribadi, begitu suatu perusahaan mencapai titik itu (jenuh), itu yang paling berbahaya. Kita harus mencari lagi sumber kedua,” jelas Hasnul.
Misi Hasnul memang tidak hanya membawa XL sukses di pasar komunikasi Indonesia saat ini, tapi bagaimana mempersiapkan XL menghadapi tantangan ke depan nanti. Ia menekankan agar perusahaan XL bisa berkembang dan tumbuh lebih cepat dari pasar. Dan fundamental yang kuat dari perusahaan pun sedang dipersiapkan, terutama untuk mendapatkan sumber pendapatan baru bagi XL.
”Konsep perusahaan itu kan going concern, harus ada continuity-nya. Jadi bagaimana agar bisa mendapatkan sumber kedua,” terangnya lebih lanjut.
Petinggi XL yang ramah dan terbuka ini pun mejelaskan sumber pendapatan kedua tersebut. Ia melihat peluang XL salah satunya di internet. Sejak internet masuk ke Indonesia sekitar tahun 1994, pertumbuhannya (hingga memasuki tahun ke-13.red) memang pesat. Namun Hasnul menilai pertumbuhan itu tidak secepat pertumbuhan internet di negara lain, bahkan Indonesia mengalami keterlambatan booming internet.
Besarnya peluang di internet ini tidak terlepas dari penggunaan telepon seluler (ponsel) sendiri, khususnya yang menggunakan teknologi 3G. Saat ini masyarakat memang lebih banyak yang menggunakan ponsel dibandingkan mengakses internet. Namun Hasnul melihat, sebelum orang bisa menikmati internet di ponsel, internet harus banyak diakses oleh mayarakat terlebih dahulu.
Walaupun pada kenyataannya internet tidak hanya ada di perkantoran tapi mulai banyak diakses di perumahan juga, namun belum mengalami pertumbuhan yang signifikan. Hasnul mengungkapkan data bahwa pengguna internet baru sekitar 12 juta orang, sedangkan pengguna ponsel mencapai 70 juta orang. Data ini menunjukkan kalau penggunaan internet belum mapan. Ini terbukti dari masih minimnya akses internet melalui ponsel.
”Misalnya sekarang kita sudah punya 3G, GPRS, dan internet. Tapi ternyata internet digunakan biasa saja. Tidak terlalu banyak penggunaan internet misalnya untuk menonton di hape atau untuk aktivitas interaktif,” terang penyuka olahraga golf ini.
Hasnul sendiri tidak sepakat jika ponsel dikatakan menggeser posisi internet saat ini. Karena munurutnya, jika internet sudah mapan, maka ponsel pun akan mengikutinya. Ia mempertegas pentingnya pembangunan dunia maya (internet) bagi setiap orang, baru kemudian dunia maya di ponsel.
”Nah, ini prediksi saya, mungkin saja salah. Perkiraan saya, sebelum orang menghadirkan internet di ponsel, harus mengerti dulu internet itu apa, baru masuk ke ponsel, bukan sebaliknya,” kata Hasnul.
Mengharapkan Akses Komunikasi yang Lebih Baik
Hal menarik lainnya yang kemudian Hasnul utarakan adalah mengenai 3G. Pengguna 3G XL hingga saat ini mencapai 170 ribu orang. Namun hanya setengahnya saja yang aktif setiap harinya. Untuk pengguna dot.com (internet) di ponsel 3G XL sendiri, Hasnul mengungkapkan hanya ada sekitar 50 ribu. Walau jumlahnya masih minim, namun pengguna 3G XL mengalami peningkatan. Peningkatan ini berimbas pada meningkatnya pendapatan XL dari sisi content. ”Memang mengalami peningkatan, tapi tidak segampang itu. Butuh waktu,” tutur Hasnul.
Lebih lanjut Hasnul menunjukkan ketertarikan dalam dunia 3G di Indonesia. Ia melihat kalau 3G masih sulit di akses hingga ke rumah-rumah. Mobilitas lah yang menjadi kendalanya. Maka ia berharap akses internet dapat menjangkau ke perumahan. Karena dengan adanya akses, 3G pun mudah untuk digunakan.
Upaya XL sendiri untuk mengembangkan fix internet access yang akan berkembang menjadi mobile adalah dengan membangun jaringan (backbone) di seluruh Indonesia.
”XL sekarang termasuk yang paling siap. Untuk backbone kita siap. Kita sudah punya kabel optik di dasar laut yang menghubungkan Jawa dengan Bali. Itu backbone yang bisa digunakan untuk menyambungkan pelanggan kalau sudah ada akes internet ke rumah-rumah,” papar Hasnul lebih jauh.
Tidak hanya itu, XL juga siap menambah jumlah BTS untuk 3G. Diperkirakan akan ada penambahan sekitar 500 menara di daerah-daerah seluruh Indonesia. Hasnul mengungkapkan rencana ini sebagai bentuk pelayanan bagi pelanggan XL.
Lalu kapan Indonesia siap memiliki akses yang lebih luas lagi? ”Tidak lama lagi,” jawab anggota Persatuan Insinyur Indonesia tersebut.
Hasnul mengukurnya berdasarkan niat pemerintah. Selain itu, ia juga melihat kalau sekarang para operator sendang membangun fiber optik, mengatur masalah harga, hingga memperkuat backbone. ”Jangan sampai akses dari rumah ke rumah sudah ada tapi dari rumah ke mana gitu tidak cukup,” sarannya.
Maka ketika Indonesia sudah memiliki akses internet yang baik, dengan bandwith yang besar, Hasnul berharap masyarakat bisa menggunakan akses ini sepuasnya. Menurut pemilik prinsip ”hidup mengalir seperti air” itu, kalau orang sudah puas menggunakan, akses tidak akan disalahgunakan. Ibarat makan, orang akan makan seperlunya. Hasnul pun berpesan, selain niat yang baik, pemerintah juga harus mempersiapkan pembangunan akses tersebut.
Sisi lain 3G yang menarik perhatian mantan Komisaris Utama PT Satelindo itu adalah industri content¬-nya. Menurut Hasnul, 3G tidak hanya sekadar teknologi atau akses. Jika 3G tidak ada isinya (content.red), maka tidak akan menarik bagi pengguna. Di sinilah pentingnya industri content provider di Indonesia. Hasnul melihat bahwa belum banyak yang mengembangkan content.
”Itulah yang kita undang, mari kita sama-sama kreatif. Lapangan bermain sudah ada, siapa saja yang yang bermain dan bagaimana agar membuat permainan-permainan yang menarik,” jelasnya.
Mengenai aturan bermain, bagi Hasnul aturan untuk content tidak terlalu banyak. Ia pun tidak segan-segan mengajak kerjasama perusahaan content provider yang bisa membuat isi ponsel yang menarik. ”Kita bisa bagi hasil,” tawar Hasnul.
Kepedulian XL terhadap kemajuan komunikasi di Indonesia pun ditunjukkan dengan kesiapan XL membantu pemerintah untuk mengembangkan telepon pedesaan.
Terkait dengan program Universal Service Obligation (USO), pemerintah memang berencana membangun jaringan komunikasi ke seluruh desa di Indonesia. Dari segi jaringanlah XL menyatakan kesiapannya.



Biodata
Nama : Hasnul Suhaimi
TTL : Bukit Tinggi, 23 April 1957
Pendidikan :
Universitas of Hawaii di Manoa, USA (MBA) – 1992
Teknik Elektro ITB, Bandung (S1) – 1981
Aktivitas :
Business Adviser Telekom Malaysia International (2006)
Anggota Persatuan Insinyur Indonesia



Friday, February 19, 2010